HEADLINEPendidikan

Pendidikan

Spread the love

Refleksi Tarian Ma’randing bagi Para Patriotisme Toraja Abad 21

Oleh Sumartoyo, S.Pd., M.Si.

Tari Ma’randing atau dalam bahasa Indonesianya disebut Tarian Perang merupakan tarian yang pada masanya sangat terkenal dan sering ditampilkan untuk menghormati para ksatria atau bangsawan yang memiliki keberanian. Kata ma’randing sendiri diduga berasal dari kata randing yang berarti mulia ketika melewatkan. Tarian ini berasal dari Suaya, Sangalla.

Secara harafiah kalimat mulia ketika melewatkan merujuk pada suatu kegiatan menarikan mayat yang dilakukan oleh beberapa orang, di mana setiap orang yang menari dilengkapi perisai yang terbuat dari kulit kerbau (balulang). Tarian ini tidak dapat dilakukan kepada setiap bangsawan pada masanya walau pun berkasta tinggi. Ada 3 nilai filosofis pada tarian ini yang perlu diketahui: Pertama kata “berani” bermakna Sang Ksatria: 1) harus berani mempertahankan kebenaran, 2) berani melawan musuh yang akan mengganggu kedamaian di dalam kampung/ negeri, dan 3) berani berkorban jiwa dan raga untuk orang lain; Kedua kata “pintar” bermakna Sang Ksatria: 1) harus tahu adat istiadat dan budayanya, 2) harus tahu silsilah keluarganya, dan 3) bijaksana dalam berpikir dan bertindak, serta pintar dalam mencari solusi; Ketiga, memiliki kekayaan yang digunakannya untuk berkorban bagi kepentingan orang banyak tanpa memikirkan pamrih atau balas jasa. Kekayaan fisik yang dinilai di sini adalah memiliki sawah atau padang, kerbau, dan beberapa peralatan perang seperti berbagai jenis pedang (doke, la’bo bulange, la’bo pinai, dan la’bo todolo) yang berarti memiliki kekuatan, keberanian dan kesiapan untuk berperang. Lalu helm atau ketopong (runggang-pelindung kepala) yang terdiri dari tanduk kerbau (dimaksudkan untuk menangkis pukulan) menandakan maskulinitas dan juga keperkasaan. Tarian ini diadakan pula untuk menunjukkan keahlian seseorang yang dimaksud dalam menangani senjata militer, dan untuk memuji keberanian dan kekuatan almarhum berdasarkan ketiga nilai filosofis di atas selama masa hidupnya.

Pada prinsipnya tarian ma’randing dilakukan dengan 4 gerakan utama yaitu: 1) Komandan berbalik untuk memeriksa kesiapan pasukan dan senjata yang disandangnya, menyimbolkan disiplin, 2) lengan memegang perisai ditarik keluar dan perisai bergerak bolak-balik dan samping senjata diulur dan perisai ditarik kebelakang, menyimbolkan kewaspadaan, 3) salah satu kaki diangkat sementara itu yang lain di tanah, menyimbolkan keteguhan hati, 4) Para menari mundur kebelakang, sementara itu satu penari bergerak ke kanan dan yang lain ke kiri, menyimbolkan kesigapan. Yang unik dari tarian ini adalah para penari berteriak (meoli atau kumalasi) untuk menyemangati satu sama lain selama pertarungan. Penonton yang melihat seolah-olah dimagneti untuk ikut berteriak, sehingga suasana yang ditimbulkan oleh tarian ini menjadi sakral.

Mengacu pada ketiga nilai filosofis di atas, lalu apakah pada dewasa ini tarian ini layak dipertunjukkan dan dipersembahkan kepada orang Toraja yang belum memenuhi ketiga nilai filosofis di atas?

Jika kita lihat pada masa sekarang, tarian ini sering diadakan untuk menyambut tamu-tamu penting daerah yaitu pejabat-pejabat tinggi yang secara status sosial dianggap memiliki pengaruh kepada orang banyak, seperti pada Lovely December tahun lalu tarian ini ditampilkan untuk Gubernur Sulawesi Selatan. Juga tarian ini diperuntukkan bagi upacara adat pemakaman para bangsawan daerah lokal yang dianggap memiliki strata sosial yang tinggi dan sejarah tentang keberaniannya yang berhubungan dengan apa yang pernah dilakukan untuk wilayah kekuasaannya. Oleh karena dilihat dari nilai-nilai filosofis tarian ini maka tidak semua bangsawan di Toraja mendapatkan perlakuan tarian ini, walau beberapa pendapat pula mengatakan bahwa makna kontekstual tarian ini sepertinya untuk menjaga permusuhan dari desa-desa lain dan untuk melindungi gadis-gadis muda yang akan diculik oleh musuh-musuh dari desa-desa tetangga.

Mewarnai setiap aspek perubahan, kita perlu memaknai nilai-nilai moralitas dalam tarian ini untuk dimanifestasikan ke dalam perilaku hidup pemimpin daerah, supaya makna keberanian dan kecerdasan dalam tarian ini dapat menjadi cermin bersikap dan bertindak bagi para pemimpin yang akan mengabdi untuk memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan bagi Tana Toraja dan Toraja Utara. Marilah simak secara mendalam makna kontekstual kata “musuh” dalam Ma’ rinding saat ini dapat diumpamakan sebagai: KKN, dekadensi moralitas – spiritual, penyakit sosial dan disparitasnya, pergeseran budaya, birokrasi yang rumit, peradilan hukum yang culas, serta kemalasan kita yang belum mampu meningkatkan status perekonomian daerah melalui usaha-usaha kerakyatan dan industri kreatif berbasis kemampuan/ keunggulan lokal. Jika nilai-nilai filosofis ini tertanam dengan baik dalam setiap pribadi pemimpin daerah, maka kita tidak perlu takut untuk mengukur kualitas pemimpin kita. Tetapi bila sebaliknya, maka kita perlu mengingatkan mereka bahwa mereka adalah para Pa’ randing yang memiliki tupoksi kompleks dalam pembangunan daerah.

Menilik jauh ke dalam kebermaknaan Ma’randing, tarian ini adalah sebuah identitas yang perlu diintegrasikan dengan iman dan semangat para Pemimpin kita dalam memaknai seri dan potret pembangunan kedua daerah ke depan. Dengan simbolisme yang terkandung dalam makna filosofis yang terlukis secara implisit dan eksplisit pada pola gerakan dan ornamen pendukung tarian tersebut, sangatlah jelas bahwa tarian tersebut mengajak siapapun yang berjiwa “Patriot” (yang peduli pada pembangunan daerah) di Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo ini untuk berbuat sambil ber-meoli (berteriak – menguatkan satu sama yang lain) serta bertindak waspada agar musuh yang mengancam dapat ditaklukkan, dan “gadis-gadis” yang dimaksud adalah “aset daerah” dapat diselamatkan dan diwariskan untuk kebaikan anak cucu daerah ini.


Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *