Opini

Wujud Beragama Dibangun Di Atas Infrastruktur Budaya

Spread the love


Oleh Daniel Ta’dung, S.Pd.


Beberapa waktu lalu media sosial di Toraja diramaikan dengan foto-foto kegiatan penahbisan salah satu Gereja Katolik di Kecamatan Rantetayo Kab. Tana Toraja (3/02/22).

Kegiatan tersebut dibarengi berita “Hewan kambing dilettoanni oleh umat muslim sebagai wujud toleransi”. Sontak atas pemberitaan tersebut di media sosial lalu muncul beragam pendapat, ada yang kontra dan ada juga yang pro.


Netizen yang pro menerima dengan terbuka dibarengi dengan berbagai alasan. Salah satu alasannya adalah wujud toleransi. Sementara yang kontra jelas menolak, karena dikaitkan dengan budaya Toraja.

Lazimnya dalam budaya Toraja yang dikaitkan dengan acara mangrara tongkonan (syukuran), hewan kurban yang umum dipersembahkan adalah ternak babi. Pertanyaannya; mengapa harus babi? Apakah hewan lain tidak bisa? Apakah boleh kambing dilettoanni?

Dari sudut pandang agama jelas tidaklah menjadi masalah, tetapi dari sudut pandang adat masih tersisa beberapa pertanyaan. Pertanyaan semacam ini hanya bisa dijawab dengan kegiatan ma’kombongan (musyawarah) di wilayah adat masing-masing.


Judul di atas penulis kutip dari pernyataan salah seorang kyai kondang di negeri ini, yang mungkin analoginya tidak terlalu pas dengan konteks yang dibahas. Namanya juga opini, pandangan penulis belum tentu sama dengan pandangan analis yang lain.


Semua hewan dipandang sebagai harta oleh orang Toraja seperti yang tertuang dalam syair “denno upa’ Anna Puang umbengki’ tua’ sanda palisu, rongko’ toding solanasang. Denno upa’ Anna memba’ka’ Tallu lolona, Anna kendek Patang tauninna”. Jelas nilai dalam syair tersebut mendambakan segala yang baik termasuk ternak. Dalam konteks kegiatan penahbisan Gereja di atas tentunya dibutuhkan klarifikasi dari tokoh agama, tokoh adat, dan pemerintah, atau Kekuatan Tallu Batu Lalikan.


Jika boleh berpendapat, maka penulis sebagai orang awam memiliki pendapat sebagai berikut:

  1. Pada mulanya kegiatan mangrara tongkonan berasal dari orang tua kita yang pada umumnya masih beragama Aluk Todolo, sehingga babi menjadi pilihan ternak yang dikurbankan.
  2. Secara filosofis kegiatan mangrara identik dengan ma’pakande deata dan ma’pakande Todolo. Ma’pakande deata dilakukan oleh orang yang tinggal di tongkonan, sementara toma’rapu ma’pakande Todolo. (Jika disederhanakan penghuni rumah syukuran kepada Tuhan sedangkan toma’rapu syukuran karena Secara garis keturunan mereka bagian dari tongkonan tersebut.) Dalam konteks mangrara Gereja pun tetap bisa dipandang seperti itu. Artinya bagaimana jika ada Todolota yang beragama Islam. Jadinya kan kasihan kalau Todolo yang lain sementara makan dan Todolo Islam tidak makan. Jadi apa salahnya jika ada hewan kambing yang dikurbankan sebagai persembahan syukur kepada Sang Illahi.
  3. Lettoan adalah infrastruktur budaya, sementara kurban merupakan infrastruktur agama. (Ada’ sipori Padang aluk sipori kale) Sebagai orang Toraja, Lettoan bisa digunakan oleh agama apa pun. Sementara daging babi hanya bisa dimakan oleh penganut agama tertentu. Menjadi sangat wajar ketika mereka membawa ternak kambing, apalagi konteksnya adalah wujud toleransi. Nilai yang sedang kita perjuangkan bersama. Apa pun bentuknya dan berapa pun harganya harus kita dukung bersama.
    Muncul lagi pertanyaan kan boleh dong orang Islam membawa babi yang penting bukan untuk konsumsi karena itu masih merupakan wujud toleransi? Pertanyaan itu saya tidak bisa jawab, karena legitimasi pikiran setiap orang, kelompok atau aliran dapat berbeda-beda.
  4. Perlu menginisiasi kombongan Ada’ untuk mengakomodir perkembangan tersebut, karena adat pun seyogianya berjalan dinamis.

Jadi simpulan penulis, bahwa sudahlah tepat agama dibangun di atas infrastruktur budaya. Menggunakan atribut budaya, mengikuti tradisi yang baik, namun tetap berjalan dinamis sesuai zamannya. Kedua, apa pun bentuk dan wujudnya kalau alasannya berjuang demi toleransi, mestinya patut diapresiasi dan dukung bersama. Nilai toleransi yang akhir-akhir ini hampir saja dilibas oleh kelompok tertentu mestinya kita perjuangkan bersama. Semoga negeri yang amat beragam ini senantiasa berkelimpahan berkat, termasuk di dalamnya wujud toleransi yang diyakini sebagai bagian dari wujud beragama.

Sumber foto https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209511804429821&id=1767870225

Catatan: Secara filosofis orang Toraja hidup dalam budaya lisan, jadi lettoan disimbolkan sebagai Wujud sukacita yg melambangkan kemakmuran.


Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *