Opini

IKA UKI: Kita Tidak Mencetak Angka-Angka, Tetapi Perubahan (Refleksi Singkat)

Spread the love


Oleh Sumartoyo, S.Pd., M.Si.

AGUPENATANA TORAJA, Hari ini, 19 April 2023 Universitas Kristen Indonesia Toraja kembali menamatkan 962 wisudawannya. Angka yang tergolong tinggi untuk daerah dengan daya serap tenaga kerja yang sangat rendah. Bagi UKI Toraja yang mampu menamatkan para mahasiswanya adalah simpul senyum kebanggaan sekaligus prestasi untuk tidak membuat para mahasiswa berlama-lama di kampus tanpa tujuan yang jelas. Alumni didaulat menjadi agen-agen perubahan dalam jalan panjang bonus demografi.

Masih hangat dalam pikiran alumni jejak-jejak keilmuan, pengalaman berkampus, masa pacaran, terkadang antara menjadi mahasiswa hipokrit atau berkutat sebagai aktifis di organisasi di dalam dan luar kampus, akan segera menjadi kenangan. Mereka penuh dengan hasrat kelulusan, bahwa di balik tali toga yang bergeser ada masa depan yang menanti, sembari juga awan gelap tantangan kerja.

Menyandang gelar sarjana tentu menjadi kebanggaan individu wisudawan dan keluarga. Masyarakat dan pemerintah ikut mengapresiasi, apalagi para dosen. Mereka ibarat baru dilahirkan ke bumi, masih lucu-lucunya, karena ilmu yang mereka sandang akan diadu dengan kenyataan. Mereka diberi kesempatan untuk mengkalibrasi perbedaan antara dunia nyata dengan dunia kampus. Menguji ulang perdebatan diskusi materi makalah kelompok saat kuliah, dengan proses observasi dan temuan lapangan yang lebih kompleks, rumit, dan juga kejam.

Sebelum lahir sebagai sarjana, seringkali bapak dan ibu dosen dibuat susah oleh ulah sekelompok mahasiswa yang rajin berjibaku di pusaran demonstrasi-demonstrasi dibanding duduk manis kuliah berjamaah. Mereka terlihat marah ketika dihalau, tidak sedikit yang menyakiti hati dosennya. Pasrah adalah jalan terbaik untuk sang dosen, daripada kena seruduk kawan-kawan seperjuangannya. Pada potret itu, terlihat dilema yang tidak terpecahkan hingga mereka tamat, bahwa kepuasan yang terabaikan dalam diri sang mahasiswa ketika tidak bersama sang dosen kemudian tidak dianggap sebagai bagian dari proses belajar yang kompleks. Lapangan dan ideologi di luar kampus kemudian menjadi santapan tanpa bekal dari kampus, sejujurnya seperti menumpangkan anak kandung di rumah singgah. Namun herannya, mengapa tah kelompok-kelompok itu lalu eksis di pasar kerja dan di dunia politik?

Di balik tembok yang berbeda senyum sumringah sang dosen kepada para mahasiswa yang patuh sedikit menghibur dan terlihat bijaksana. Kekuatan dan konten pengetahuan ditumpahkan agar harapannya kepada mahasiswanya dapat menjadi manusia yang berguna di kemudian hari. Jumlah mereka sangat banyak, dan umumnya mendapat beasiswa prestasi atau bantuan pendidikan. Tujuan mereka cuma satu: tamat dan cepat-cepat bekerja. Kampus senang, beban akademik zero karena mahasiswa tidak ada yang bergelantungan.

Tetapi tantangannya berbeda!
Dunia yang mereka kira akan sama seperti tiga atau empat tahun yang lalu tidak lagi seukuran dengan ilmu yang diraih. Teknologi berkembang seperti eceng gondok, dengan banyak teratai dengan kelopak di sana sini. Keilmuan mereka terjebak di antara ruang komunikasi yang cepat dan berubah-rubah. Konektivitas yang lambat dan lalai. Mereka terlihat bertahan pada eksistensi sesuai ilmu teori dan magangnya, namun lupa substansi dari keilmuan yang disandangnya adalah fleksibel dan memiliki legasi pada bidang yang lain. Ketika mahasiswa seberang tembok telah laju dalam budaya kerja yang cepat dan baru, kelompok ini seperti kehilangan arah dan menunggu untuk dijemput, dan beberapa di antara mereka akhirnya tertolong oleh kawan-kawannya, sedangkan yang tidak eksis dalam pergaulan akhirnya bergentayangan dalam angka pengangguran.

Menjadi manusia yang dibutuhkan di ragam lingkungan kerja adalah cita-cita mulia. Kampus tentu sudah bertanggung jawab baik secara moral, akademik, inklusif dan berkelanjutan, serta dengan bimbingan karir yang setiap kampus berbeda strategi dan penerapannya. Berbagai cara untuk menyibukkan mahasiswa sudah dilakukan secara fisik dan emosional, namun tidak secara mental. Mentalitas adalah masalah klasik. Saking klasiknya dipisahkan dari ruang-ruang perkuliahan. Dosen mengajar sebagai pemateri, bukan sebagai mentor. Dosen mengajar sebagai figur akademik, bukan sebagai orang tua atau konselor. Dosen mengajar sebagai moderator atau fasilitator, bukan sebagai relationship. Dosen mengajar mengikuti cakupan dan target kurikulum, tetapi kurang adaptif memperlihatkan fenomena yang mengambarkan kurikulum secara komprehensif. Itulah mengapa pada akhirnya akan selalu ada mahasiswa yang bersebrangan dengan fakta ideologis dosennya, mengembara di luar kampus dengan maksud berguru pada mentor lain sesuai tuntutan zamannya.

Kampus mencetak angka-angka, daripada algoritma presisi untuk memanusiakan manusia. Kehilangan kampus yang terbesar adalah ketika perburuan terhadap angka-angka mengabaikan kemurnian (purity), ketersediaan (availability), keandalan (reliability), ketahanan (resintency), dan efektifitas (effectiveness) dari unikompetensi. Tesis, jurnal ilmiah, dan semua yang terindeks menjadi bagian dari pengejaran terhadap angka-angka ketimbang dampak nyata pedagogik yang agregatnya masih membutuhkan remedial, dan apakah dengan dimensi perubahannya itu telah ternintegrasi satu sama lain dengan hal-hal yang berkembang di dunia nyata?

Kampus kurang adaptif berburu pasar kerja. Pencapaian di kampus bukanlah pencapaian di lapangan. Pencapaian para dosen tidak selalu berkolerasi dengan pencapaian mahasiswa. Alumni tidak sekedar memonitor kompetensi pasar kerja, mereka wajib berjibaku sejak awal untuk memahami arti dan tujuan mengapa pikiran harus merdeka bersama hasrat. Kreatifitas itu selayaknya bertumbuh secara harmoni dalam komunitas kampus yang sehat, bersama dosennya, menarik masuk dunia nyata itu ke dalam kampus, menggodoknya, mengukur rentang kecepatan perubahan bersama aspek-aspeknya, mengetahui setiap kebutuhan dan kelemahan dalam setiap perubahan, serta tata peluang dan eksekusi.

Tidak ada satupun warga kampus yang tidak merindukan institusinya menuju kampus generasi keempat. Walau pada kenyataannya akan banyak fakta pahit dari dalam institusi itu sendiri tentang sekelompok orang yang tidak siap dan akan kehilangan pundi-pundi cuan. Tetapi perubahan ini memang tidak akan memilih apalagi menunggu. Mereka pun kaget, jika misalnya hal yang tidak pernah diduga bahwa CDBC (Central Digital Bank Currency) akan masuk kampus untuk mengiterintegrasikan sistimnya ke sistim keuangan kampus dan pada kartu mahasiswa, AI (artificial intelligence) menjadi asisten dosen atau malahan menggeser keberadaan dosennya, dan pengembangan kurikulum yang mengharuskan dosen turun ke lapangan untuk membuat peta pendidikannya sendiri, sungguh dapat dibayangkan keharusan itu menjadi budaya kerja baru di masa depan.

Doa dan harapan selalu mengiringi para wisudawan UKI Toraja. Kampus telah melakukan yang terbaik. Kekurangan bukan kelemahan, tetapi keadaan yang tercipta karena kolaborasi belum ketemu di porosnya. Keyakinan dan optimisme yang kuat bahwa masih banyak tugas berat yang harus diselesaikan, bahwa dengan gerbong yang penuh ini bukan hanya tugas dosen untuk menyelesaikannya, tetapi kita semua: gereja, pemerintah, porfesional dan aktivis untuk sama-sama menjaga marwah UKI Toraja dengan motonya “menjadi berkat bagi semua orang”. Tuhan memberkati !

Penulis adalah Mentor, Aktivis Demografi, Sastrawan, dan Guru.
Ketua Bidang Pengembang Kapasitas Lulusan IKA UKI Toraja
Wakil Ketua Bidang SDM dan Riset DPD II KNPI Tana Toraja

sumber foto web UKI Toraja

Editor: Hajar Aswad, S.Pd.


Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *