Ekonomi

Menanti Kelahiran Mata Uang Digital Bank Sentral AS dan Era Kejatuhan Dollar AS

Spread the love

Oleh: Sumartoyo, S.Pd.,M.Si. 

AGUPENA – Internasional. Serangan Covid-19 (corona virus disease 2019) yang membunuh puluhan ribu orang di dunia meluluhlantakkan perekonomian global. Seperti dilansir oleh bisnis.com, potensi kehilangan ekonomi dunia mencapai US155 miliar dan China sendiri US$103 miliar. Itu dalam skenario moderat. Jika skenario buruk, secara global, potensi kerugian dunia mencapai US$346  miliar. Angka tersebut berasal dari potensi kerugian China (US$ 236 miliar), negara Asia non-China (US$42 miliar) dan sisanya dari negara-negara lain (US$68 miliar). 

Dampak kehilangan ekonomi secara global belum dapat dipastikan. Angka yang tepat untuk itu hanya berkisar di antara 0,07 persen hingga 0,3 persen dari total GDB global. Gangguan terbesar datang dari China sejak Covid-19 menyerang Wuhan. Ben May, Direktur penelitian makro global di Oxford Economics menjelaskan dampak China memberlakukan lockdown telah menyebabkan keparahan pada pertumbuhan ekonomi beberapa negara. Oxford Economics lebih jauh mengakurasikan perkiraannya bahwa pertumbuhan global tahun ini berada di angka 2.5 persen menjadi 2.3 persen; terendah sejak krisis finansial tahun 2008.

Amerika sendiri mengalami situasi nasional yang tidak begitu baik. Sebaran statistic worldmeter (06/04) menempatkan Amerika Serikat pada peringkat pertama yang terkena serangan Covid-19 yaitu 376.719 jiwa yang terverifikasi positif dan 10.943 jiwa dinyatakan meninggal. Rata-rata perhari penambahan pasien Covid-19 di Amerika Serikat berada di angka 650 – 720 jiwa. Angka sebaran baru ini kurang lebih 20 persen dari jumlah kasus baru yang dialami oleh Spanyol.  Sejak 8 Maret hingga hari ini 6 April, New York sudah ditetapkan dalam status darurat. Di New York sendiri sudah 3.500 jiwa meninggal akibat terlalu tingginya penyebaran Covid-19 di negara bagian Amerika yang berpenduduk 8.391.881 jiwa itu.

Kondisi New York yang makin parah diungkapkan oleh Walikota New York, Bill de Blasio. Apa yang terjadi di New York kondisinya hampir sama yang pernab terjadi di Wuhan, awal Covid-19 berkembang. Kepanikan dan ketakutan menyebar, kebutuhan medis menjadi langka, masyarakat menyerbu persediaan pangan, kejahatan sosial mulai mengancam, sedangkan Washington DC belum melakukan tindakan urgentif terhadap wabah yang menyerang kota di mana PBB juga bermarkas.

Bila di bandingkan dengan negara bagian lainnya maka Kota New Yorklah yang paling parah mengalami serangan Covid-19. Serangan Covid-19 di New York telah menyerang bursa yang diperdagangkan di Wall Street. Dalam 2,5 pekan terakhir volume perdagangan di Wall Street mencapai 12,62 miliar saham, lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata 15,52 miliar untuk sesi penuh. Tampak penurunan indeks votalitas akibat sentimen pasar yang masih ragu dan labil terhadap serangan Covid-19 di sana. Walau dalam pekan ini ada sentimen positif terhadap pasar regular, namun hal itu belum mampu melepaskan Wall Street dari kondisi yang sebenarnya. Belum ada prediksi yang meyakinkan disertai bukti ilmiah di lapangan kapan pandemik di New York dapat berkurang. Pejabat dan ekonom AS berlomba-lomba memprediksi angka kematian yang wajar untuk warga New York di angka 10.000 jiwa kematian, telah menjadikan prestise yang buruk bagi masyarakat untuk semakin panik walau sosial distancing sudah diterapkan sebagai upaya meminimalisir angka sebaran.

Sumber foto: investor.daily

The Fed (Federal Reserve of Bank) atau dikenal sebagai Bank Sentral AS yang juga bermarkas di New York mulai mengkhawatirkan spektrum pertumbuhan ekonomi Amerika di bawah 1 persen. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor penting seperti: melambatnya investasi swasta, melemahnya ekonomi dunia termasuk negara-negara sekutu Amerika yang saat ini tengah tiarap dengan resesi ekonomi di negaranya masing-masing, kebijakan kongres yang akan dipengaruhi stigma ekonomi perubahan, seperti rencana Trump yang kabarnya akan mengedepankan penggunaan mata uang digital.

Terkait penelitiannya tentang Decentralized Ledger Technology (DLT), Bank Sentral Amerika atau The Fed sejak resesi ekonomi melanda Amerika pasca serangan Covid-19 mulai melirik penggunaan mata uang digital atau dikenal dengan istilah cryptocurrency. Hal tersebut dibenarkan oleh Lael Brainard Anggota Dewan Gubernur Bank Sentral AS yang memberikan contoh pada penggunaan mata uang USDT (Theter) yang merupakan mata uang digital jenis stablecoin. Mata uang USDT telah diperdagangkan di hampir 3000 exchanger di seluruh dunia dan menjadi alat tukar yang paling aman dengan biaya selisih (fee transfer) sangat kecil memungkinkan The Fed melakukan hal yang sama dengan mata uang digital yang kelak diterbitkannya sebagai upaya menyatukan dunia dengan mata uang digitalnya. 

Keinginan Bank Sentral Amerika untuk menerbitkan cryptocurrency bukanlah hal yang baru. Terlepas dari teori konspirasi yang menduga kebijakan The Fed ini adalah skenario dari elite global sebagai pemilik The Fed itu sendiri, hal yang serupa sudah pernah diujicobakan melalui kemunculan Libra, mata uang digital milik Facebook. Hanya saja pada tahun 2019 sebanyak 2/3 anggota konggres Amerika menolak pemberlakuan uang tersebut. Entah apakah ini bagian dari skenario The Fed, tetapi nampaknya kehadiran mata uang digital The Fed tidak akan terelakkan lagi. Kegagalan Libra hanyalah hambatan kecil pada masanya, dan saatnya impian The Fed akan terwujud di saat dunia mengalami guncangan ekonomi hebat.

Sebelumnya, gagasan untuk menerbitkan mata uang digital lahir dari berbagai bank di dunia yang berafiliasi langsung dengan The Fed. Sebagai bank swasta yang bersifat independen, artinya kebijakan yang dilakukan oleh The Fed tidak harus memperoleh ijin ataupun persetujuan dari pemimpin tertinggi Amerika yakni Presiden AS. The Fed memiliki regulasi yang mengatur kondisi keuangan di AS dan berperan penting sebagai regulator bagi institusi keuangan. Oleh karena itu The Fed memiliki peran yang sangat strategis untuk melahirkan kebijakan-kebijakan baru, termasuk salah satunya menerbitkan digital currency yang kelak penggunaanya dapat difungsikan sebagai alat transaski di berbagai negara. 

Sebagai catatan, berdasarkan data pada pertemuan para Menteri G20 dan Gubernur Bank Sentral melalui konferensi video pada Selasa 31 Maret yang lalu tercatat ada 85 negara yang terdampak Covid-19 yang sangat berpotensi meminjam dana dari IMF. Paling sedikit IMF akan menyiapkan US$ 1 triliun untuk membantu negara-negara yang menjadi korban terjangan Covid-19. IMF dan The Fed adalah saudara kembar yang tidak dapat dipisahkan, oleh karena sudah merupakan kesepakatan bersama ataukah adanya rekayasa oligarki kapitalis suku bunga pinjaman IMF besarannya hampir sama dengan The Fed. Sehingga di depan ini tidak terlalu mengherankan apabila The Fed menawarkan konsep pembayaran baru dalam bentuk mata uang digital yang nilainya bersifat stabil.

Di tengah wabah Covid-19 yang menyibukan konsentrasi Trump, terlihat sifat kooperatif Trump terhadap kebijakan The Fed saat menurunkan rasio pinjaman sebesar 0% terhadap suku bunga acuan The Fed untuk menstimulasi pasar yang tidak stabil. Kondisi ini menurut Robert T. Kiyosaki adalah awal kejatuhan dollar AS. Pada laman twitnya Robert T. Kiyosaki mengajak masyarakat dunia untuk menyimpan aset keuangan dalam bentuk emas, perak, dan bitcoin dan menolak menyimpan aset dalam bentuk uang kertas dollar.

Ajakan ekonom yang terkenal dengan kritikannya terhadap sistem pendidikan konvensional ini didasarkan pada analisanya yang masuk akal, bahwa di tahun 2019 sudah ada 15 negara besar yang memiliki rasio hutang melebihi 100% GDP di negaranya masing-masing. Amerika Serikat sendiri pada bulan Februari 2019 – Februari 2020 memiliki hutang yang meningkat tajam sebesar USD 23,4 trilyun. Robert menilai Amerika dan dunia mengalami kondisi yang disebut “bubble hutang” yang sudah parah sejak tahun 2004. Saat ini Kondisi moneter yang tidak menguntungkan itu kemudian diperparah oleh serangan Covid-19, sehingga ketika tatanan ekonomi lama jatuh, maka lahirlah tatanan ekonomi baru di mana sistem keuangan dunia akan berubah dari printing money menjadi digital currency.

Dukungan Robert T. Kiyosaki terhadap penggunaan mata uang digital Bitcoin disinggungnya secara faktual dalam bukunya yang berjudul “Fake”. Selain emas dan perak, Bitcoin adalah instrumen keuangan yang sudah diakui oleh dunia dan merupakan aset jangka panjang yang nilainya terus naik dan aman dalam penyimpanan karena bersifat anonim dan terdesentralisasi. 

Kehadiran Bitcoin dengan segmentasi pasar dan volume perdagangan yang sangat besar menjadi perhatian bagi 200 juta penggunanya di seluruh dunia. Kapitalisasi pasar Bitcoin pada laman coinmarketcap.com mencapai USD 47.055.794.022,0 per 6 April 2020 dengan sirkulasi suplay 18.310.857 Bitcoin, dan saat ini harganya dipatok pada angka USD 7.332,64 perBtc. Kondisi market Bitcoin yang nyaris tidak terpengaruh kejatuhan bursa saham pasca serangan Covid-19 menjadi stimulus bagi Bank Sentral AS untuk mengupayakan penggunaan blockchain (rantai block) dalam pemutahiran DLT (Decentralized Ledger Technology) serta aplikasinya sebagai syarat baru dalam transaksi lintas negara tanpa ada batasan dalam jumlah, kapasitas ruang dan efesiensi waktu. 

Perbedaan mencolok antara uang kertas dengan mata uang digital terletak pada nilai, sistem keamanan, dan aplikasinya. Uang kertas terutama dollar memiliki nilai yang terbatas antar zaman. Nilai uang terhadap barang dapat berubah setiap saat dan nilainya cendrung semakin rendah setiap tahun berganti. Keamanan dari sisi keaslian juga dapat dipalsukan dengan teknologi printing terbaru. Pada kasus penyebaran Covid-19 di Italia, PBB berasumsi kuat bahwa uang kertas menjadi media penyebaran Covid-19, sehingga PBB pun menyarankan pembayaran diganti dengan sistem digital. Itu adalah warning sekaligus pemberian lampu hijau bagi pemanfaatan digital currency. Sementara itu pada aplikasinya penggunaan uang kertas terbatas untuk beberapa negara saja. Setidaknya dibutuhkan pertukaran dengan biaya selisih yang tinggi, waktu transfer antar bank, dan adanya limit transaksi pada uang kertas. Kelemahan yang paling mencolok adalah sifatnya yang sentralisasi di mana nilainya diatur oleh Bank Sentral.

Sebaliknya pada mata uang digital atau digital currency nilainya dapat meningkat mengikuti suplay dan demand. Sifatnya yang terdesentralisasinya yang menyebabkan nilainya fluktuatif. Jika The Fed memberi regulasi yang nyata maka mata uang keluaran The Fed akan menjadi primadona bagi masyarakat dunia, nilainya bisa sangat berarti dari tahun ke tahun. Mata uang digital dibuat dengan algoritma matematika yang rumit sehingga sangat mustahil untuk ditiru. Blockchain sendiri adalah rantai pengiriman yang memungkinkan terjadinya transaksi pair to pair (P2P). Pada pengaplikasiannya, mata uang digital jauh lebih simple karena keterbatasan pada uang kertas tidak berlaku pada mata uang digital. 

Salah satu mata uang digital yang teknologinya kini dipelajari di lebih 100 bank terkemuka dunia, termasuk salah satu di Indonesia yaitu Bank Central Asia (BCA) adalah XRP. XRP singkatan dari X Rothschild Project, milik keluarga besar Rothschild, keluarga terkaya di dunia berkebangsaan Yahudi yang hampir memiliki semua bank sentral di dunia. Tidak ada data di dunia berapa suplay koin ini yang beredar, namun kapitalisasi pasarnya di coinmarketcap.com adalah USD 2.759.340.526,00 per 6 April 2020 dengan sirkulasi koin mencapai 43,978,966,311 XRP dan harga perkoinnya adalah USD 0,2. Dilihat dari volume perdagangan XRP menempati urutan ke-3 setelah Etherium dan Bitcoin dan masuk ke dalam 10 besar cryptocurrency dengan volume terbesar di dunia. Berita tentang XRP ini bukanlah hal yang mengejutkan karena di Indonesia sendiri telah diperdagangkan di market Indodax milik Oscar Darmawan dan juga di Huobi Indonesia. Hal yang kemudian tidak perlu dianggap sebagai kejutan adalah manakala XRP yang mengusung teknologi Ripple ini kemudian diadopsi oleh The Fed karena salah satu pendiri The Fed adalah cucu dari Mayer Rothschild.   

     

Sebagai penutup, maraknya teori konspirasi di berbagai pemberitaan media bahwa Covid-19 adalah senjata biologi yang direkayasa genetik dianggap sebagai usaha sekelompok elit global yang ingin mengambil keuntungan dari pandemik ini. Apapun analisa dan kaitan fakta di balik itu walau sulit untuk dibuktikan tidaklah menjadi soal, sebab faktanya hari ini dunia mengalami guncangan ekonomi yang berimbas pada kebutuhan hidup masyarakat dunia. Resesi ekonomi telah mempengaruhi semua segmen kehidupan dan keseluruhan sektor ekonomi, tentu bukanlah hal mudah untuk diselesaikan dalam satu atau dua tahun ke depan. Perbaikan ekonomi ke depan akan menyita banyak ruang pemberdayaan dan pastinya akan mempengaruhi perubahan geopolitik tiap negara, sebab dari peristiwa ini setiap negara akan belajar beradaptasi dengan perubahan global, termasuk beradaptasi pada era ekonomi baru dimana era blockchain menjadi pemimpin ekonomi global.

Tulisan selanjutnya:

Kebangkitan Dinar dan Dirham di Era Blockchain 


Spread the love

4 komentar pada “Menanti Kelahiran Mata Uang Digital Bank Sentral AS dan Era Kejatuhan Dollar AS

  • Saya pernah mendengar dr deputi salah satu bank terkemuka akan datang sebentar lagi tahun2 mata uang sudah tidak ada harganya (turun) dan akan diganti dengan emoney. Dan masyatakat menengah kebawah akan merasa kesulitan akan hal itu dan drfisit negara akan semakin menjadi. Dan tahun2 itu akan kita kihat sebentar lagi

    Balas
  • teori konspirasi di berbagai pemberitaan media bahwa Covid-19 adalah senjata biologi yang direkayasa genetik dianggap sebagai usaha sekelompok elit global yang ingin mengambil keuntungan dari pandemik ini. ngeri sih gimana yah

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *