OpiniSastra

Pembelajaran Sastra Abad 21, Portal Baru Universal Semiotik

Spread the love

Oleh Sumartoyo, S.Pd., M.Si.

Perkembangan bahasa bersifat dinamis. Bahasa berkembang mengikuti perilaku manusia yang majemuk dalam kehidupan sehari-hari, ditandai dengan lahirnya istilah-istilah baru. Selaras dengan itu, penyimpangan juga ikut mewarnai praktik lisan maupun tulis sebagai wujud bahasa bergerak dalam kedinamisasiannya. Bahasa akan terus berkembang mengikuti keinginan manusia dan menjembatani perbedaan setiap keinginan itu.

Mengekang bahasa dalam kekakuan meluputkan trend baru yang seharusnya bertumbuh sebagai pengetahuan masa kini. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi bukanlah aib berbahasa yang harus dihindari, melainkan pelengkap yang akan mempertemukan benang merah dari proses lahirnya bahasa baru. Salah satu trend bahasa sapa yang berkembang saat ini yaitu penyebutan kata “Om” dan “Ngab”, yang digunakan untuk menyapa orang yang lebih tua maupun lebih muda. Pergeseran makna ini tidak harus dinilai sebagai penyimpangan, karena proses kehadirannya merupakan kesepakatan di antara pemakainya.

Pada hakikatnya, bahasa akan menemukan kesejatiannya. Simbol, lambang maupun kode yang melekat pada bahasa masih merupakan misteri dari kesejatian bahasa. Kata-kata yang dianggap tidak lazim dapat berdiri sebagai makna, terlepas dari aturan baku dan kaidah. Siapakah di dunia ini yang dapat mengklaim arti dan makna kata atau kalimat sebagai paparan dari sebuah definisi yang absolut? Di masa yang akan datang, simbol atau lambang dapat menjadi penanda yang lebih dalam atau liar dalam mengartikan konsep dan konteks di luar wacana.

Manusia akan memahami unsur-unsur baru dalam perkembangan bahasa. Unsur-unsur tersebut lahir dari proses evolusi dari apa yang disebut sebagai perubahan spektrum dan dimensi holistikal. Bahan pembentuknya berasal dari penyimpangan, perilaku baru, karakteristik, infrastruktur, hingga kesepakatan yang terjalin secara harmonis. Kolaborasi itu terkoneksi dalam konteks sosial yang tidak dapat dipisahkan dengan trend teknologi dan pergeseran kultur lama ke modifikasi kultur baru.

Dinamika di atas juga berlaku pada perkembangan sastra. Sastra modern dapat lebih menyimpang dari keyakinan sejumlah aliran dan produk yang dipamerkan saat ini. Secara baku dan kaidah saja sudah menyimpang apalagi secara makna, intepretasi setiap orang dapat beragam dan ekstrim. 

Sumber foto kibrispdr.org

Umumnya sastra tulis seperti cerpen, novel maupun puisi ditulis mengikuti gaya dan budaya penulisnya. Konteks kehidupan sosial cendrung menjadi topik utama bagi penulis sastra karena fenomenanya laku untuk dikomersilkan maupun dianggap kaya dengan pesan moral. Banyak penulis berdiri pada konteks ini karena dianggap mewakili pandangan sebagaian besar orang. Hal tersebut wajar saja, mengingat tulisan-tulisan karya sastra akan lebih bermanfaat bagi khalayak ramai jika lebih mudah untuk dipahami dan ditiru dari sisi positif yang membangun. Termasuk di dalamnya, karya sastra dapat menjadi pengendali perilaku pembacanya, karena sarat dengan pembelajaran moral.    

Tidak ada spesifikasi khusus tentang sastra modern yang tengah bergerak dan mendiami dimensi seperti apa di masa depan. Dalam pembelajaran abad 21, sastra dimoderenisasi oleh ragam fenomena yang dapat merupakan penyilangan dari daya tarik teknologi, persoalan manusia, spiritualisme yang mengambang, tragedi kemanusiaan, trend ekonomi, hingga hal-hal yang bersifat metafisika, NFT (non fungible token), hingga metaverse. 

Perubahan dunia yang sangat cepat ditandai dengan perkembangan artifisial intelegensi (AI) atau kecerdasan buatan, merupakan tantangan, sekaligus menjadi pendekatan sastra yang paling maju. Hal tersebut tidak dapat dicegah ataupun dilawan, karena sudah terjadi beberapa tahun silam. Pada tahun 2016 di Jepang, robot AI berhasil memenangkan turnamen penulisan novel pendek. Keberhasilan robot AI tersebut dianggap sebagai terobosan dalam penelitian teknologi kecerdasan buatan, yang kebermanfaatannya dianggap dapat menggantikan peran manusia dengan berbagai keterbatasannya. Walau dianggap masih sebagai prototipe, robot AI yang juga kabarnya masih disempurnakan hingga akhir 2021 lalu, kelak akan menggantikan posisi manusia dalam mendeskripsikan dan memerikan secara kompleks fenomena yang terjadi di dunia ke dalam tulisan.

Kita dapat menunggu perubahan, namun perubahan tidak akan pernah menunggu manusia yang enggan berubah. Sama halnya dalam pembelajaran sastra abad 21, seorang guru tidak dapat membatasi perkembangan sastra yang unik dalam komponen belajar peserta didik. Tidak ada batas-batas tertentu dalam sastra, perubahannya mengikuti evolusi berpikir. Imajinasi dapat keluar dari konteks kelaziman, misalnya larik puisi yang berupa kata atau kalimat, bisa saja digantikan dengan simbol balok atau lengkungan yang aneh. Misal lirik puisi demikian:

“2Ω2 π13 ∞ pada awal di sana juga akhir”

Masyarakat Toraja yang kaya dengan simbol atau ukiran pada tiang dan dinding rumah (banua) tongkonan adalah contoh nyata gambaran realisme sosial sehari-hari masyarakat Toraja pada masa lampau. Simbol-simbol tersebut melukiskan secara dalam hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, makhluk hidup lainnya, dan dengan Pencipta mereka. Di samping itu, tata perilaku dan pranata ditafsirkan dari simbol-simbol tersebut. Sebagai contoh simbol pa’tedongan atau gambar kerbau. Masyarakat Toraja menganggap kerbau sebagai simbol kemakmuran. 

Pada masa lampau kebanyakan penilaian serta transaksi selalu diputuskan berdasarkan pada nilai kerbau. Selain itu, dalam membedakan status sosial seseorang dapat dinilai berdasarkan jumlah kerbau yang dimilikinya. Kerbau juga merupakan simbol pengorbanan dalam menghormati orang yang telah tiada. Menurut keyakinan adat Suku Toraja, arwah dari orang yang meninggal membutuhkan banyak kerbau yang akan berguna dalam perjalanannya. Tak lain ialah agar dapat tiba di nirwana (Puya) dengan cepat. Intepretasi semiotik dari simbol kerbau ini selalu dipandang positif. Namun, apakah intepretasi semiotik hanya pada kisaran makna kemakmuran saja, ataukah masih ada arti lain jika rupa pa’tedongan itu menyilangi simbol lain, misalnya menyilangi simbol bareallo (matahari) sehingga pemaknaannya menjadi lebih luas, lebih kaya, dan mampu menyingkap tabir makna lainnya. 

Sesuatu yang berasal dari masa lampau yang kerahasiaanya seperti rumah dengan banyak ruangan dapat menjadi satu-satunya portal di masa depan. Pembelajaran sastra abad 21 harusnya menjadi terobosan yang inovatif untuk menyingkap kemerdekaan kata, simbol, maupun tanda yang terkekang oleh keterbatasan berpikir di masa lampau dan kini. Lebih banyak amunisi sebagai pendekatan adalah atraksi dari imajinasi yang kompleks dalam pikiran, jangan dianggap sebagai titik temu yang dangkal.

Mari tengok kalimat berikut:  

“Labirinisme pada sastra bukan kebingungan semu, melainkan prisma dari dirinya untuk keluar dari penjara semiotik”

Kalimat di atas mengandung makna yang sangat dalam, lengkap dengan pemerian yang tidak ada ujungnya. Seperti alam semesta, maka seperti itulah luasnya sastra, sehingga arah belajar sastra tidak boleh dibatasi oleh standar baku kurikulum dari masa ke masa. Pembelajaran sastra sebaiknya berdiri sendiri sebagai kurikulum yang independen dan merdeka.

Pembelajaran sastra harus keluar dari kurikulum yang berlaku saat ini. Sebab, sastra memiliki ekosistem sendiri di luar tata bahasa. Ekosistem sastra bukan saja pada teori dan praktik keilmuannya, namun juga pada kemampuannya untuk diverifikasi sebagai karya satu-satunya, walau itu puisi sederhana dari seorang anak kecil. Ekosistem yang lain dapat berupa pertunjukan seni sastra yang spektakuler, penciptaan karya sastra baru yang bertentangan dengan karya umum, kelahiran aliran baru, hingga kehadiran berbagai mashab dan literatur digital.

(Tentang diverifikasi karya sastra akan dibahas secara mendetail pada artikel lain yang berjudul “NFTs Karya Sastra untuk Nilai Ekonomis dan Pengakuan Keaslian”)

Sadar atau tidak, dunia semakin diperbaharui oleh kehadiran metaverse. Metaverse adalah dunia komunitas virtual tanpa akhir yang saling terhubung satu sama lain. Di mana, orang-orang dapat bekerja, bertemu, bermain dengan menggunakan headset realitas virtual, kacamata augmented reality, aplikasi smartphone dan atau perangkat lainnya. Dunia metaverse adalah dunia nyata yang divirtualkan dengan berbagai pendekatan dan performa yang tidak ada di dunia nyata. Seseorang dapat kuliah bebas di alam metaverse, beribadah, berbelanja layaknya di mall, terbang dengan sayap untuk melawan monster-monster hutan yang menakutkan, menjadi artis dan membangun gedung 1000 lantai, hingga menjadi tuhan untuk dunia yang dibangunnya dengan imajinasi super liar.

Sumber foto blokchainmedia

Metaverse adalah bagian dari sastra yang tercipta dari alam imajinasi seorang manusia. Kefiksiannya adalah virtualisme yang tertata rapi oleh algoritma yang tercipta dari pikiran manusia. Bisa dibayangkan perbedaan nyata pembelajaran sastra konvensional, di mana anak membaca atau menonton ceritera fabel. Sedangkan di dunia metaverse, anak tidak lagi membaca atau menonton, melainkan mereka dapat memilih dan menjadi salah satu rupa hewan dan bermain peran dengan hewan lainnya, membentuk koloni dan ragam kisah. 

Jika di dunia nyata, seorang pelajar SMA yang gemar menulis puisi namun tidak memiliki follower yang akan menontonnya, maka di dunia virtual, dia dapat mengatur jutaan orang untuk menjadi penonton dan pendengar yang setia. Jika di dunia nyata, naskah drama seorang mahasiswa bahasa semester V tidak dapat dipentaskan karena karyanya ditolak kurang menarik oleh dosennya, maka di dunia virtual, dia dapat meminta dan mengatur Reza Rahadian, Lee Min-ho, Park Seo Joon, Dwayne Johnson dan ribuan artis lainnya untuk menghidupkan naskah drama miliknya, dan semua itu bisa direkamnya untuk diperlihatkan ke dunia nyata. Apapun keinginan yang tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, di dunia metaverse segalanya adalah mungkin.

Sumber foto Trends-Tendances

Sedemikian jauh fenomena teknologi itu telah memengaruhi landasan berpikir abad ini. Sehingga pembelajaran sastra abad 21 harus ikut menyeimbangi disrupsi tersebut. Tulisan ini mencoba membuka wahana baru tentang apa dan bagaimana seharusnya pembelajaran sastra modern dilakukan oleh guru-guru penggerak dalam kurikulum prototipe tahun 2022. Baik dari inovasi karya-karya baru, hingga pada penggunaan teknologi. Guru-guru penggerak harus disiapkan untuk menopang dan menyelaraskan hal-hal yang baru agar menjadi fundamen dan pengembangan literasi pada tahapan yang lebih maju.

Pentingnya grand desain untuk membawa guru-guru pada leverisasi pembelajaran sastra abad 21 membutuhkan aktor-aktor baru dalam pendidikan. Konsep ini bukan untuk tidak menghargai pelaku dan karya sastra yang sudah ada, melainkan sebagai pelatuk pada ekosistem pembelajaran sastra yang baru, yang konteksnya disesuaikan dengan perubahan yang sedang berlangsung. Dengan kata lain ada spesifikasi baru yang harus diakui hanya dapat dikelola oleh orang yang tepat dengan kebijakan yang pro.

Wujud dari apa yang diharapkan dalam pembelajaran sastra abad 21 adalah bervariasinya pengetahuan dan pengalaman belajar peserta didik dan guru. Ada jembatan yang menghubungkan setiap ekosistem dalam pembelajaran sastra berupa: manusianya, pengetahuan baru yang berkembang, infrastruktur, produk yang dihasilkan, dan tata disiplin keilmuan, yang semuanya wajib dikemas dalam sebuah kurikulum yang tervalidasi.

Dunia berharap akan adanya kejutan-kejutan baru dari sastra yang terus berkembang. Perubahan yang manusia alami tidak lain dari hasil berpikir yang luar biasa. Kelak kita menyaksikan produk-produk kesastraan modern dari satu atau semua jenisnya, seperti contoh petikan bait puisi di bawah ini dengan segala aspek yang ada di dalammya, yang sedang dipersiapkan oleh penulisnya menjadi karya sastra puisi NFTs pertama di dunia:

Perpindahan rantai, blok 800001

pintu untuk dunia segala masa

garpu seperti jam, stereorasis, perhentian siluman

balok simetris bergeser 12 inchi

visi itu anak landak

                                                                                            #algoritmaΩ

Kode NFTs yang sudah diverifikasi pada puisi di atas dapat dilihat pada tautan link https://opensea.io/assets/matic/0x2953399124f0cbb46d2cbacd8a89cf0599974963/94631067142828724517561193939350145669833503621338075769583704549460262518785/

Sebagai penutup, mencermati perubahan dan perkembangan sastra di abad 21 pada akhirnya menjadi tugas profesional semua guru sastra. Kompetensi dasar yang diharapkan tidak melulu berkiblat pada acuan kurikulum. Bila mau, inovasi dan temuan di lapangan menjadi landasan ilmiah yang terus ditumbuhkembangkan dengan berbagai pendekatan belajar, agar proses inquiri menghasilkan pengalaman belajar yang menyenangkan, unik, dan menghasilkan karya sastra berkualitas dan langgeng antar zaman.

Tentang penulis: sastrawan, peneliti, penulis dan penggiat bahasa, staf ahli pada beberapa organisasi/lembaga pemerintahan dan pendidikan, trader crypto currency, dan pengamat teknologi NFTs dan Metaverse.


Spread the love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *